Jika digenggam oleh orang yang baik maka akan sangat berguna namun sebaliknya jika dikuasai oleh orang jahat maka justru akan mendatangkan mara bahaya.
Trending topic di warung kopi dan setiap sudut kota adalah seputaran perhelatan politik yang semakin dekat (pilkada). Perbincangan politik semakin intens dilakukan.
Beragam analisa disertai argumen muncul di antara kepulan tebal asap rokok. Campur aduk dengan kebisingan dan suara jeritan rakyat akan harga sembako yang semakin meroket. Ada argumen yang masuk akal tak jarang juga muncul humor politik yang bisa sedikit melepaskan ketegangan. Masing-masing mengeluarkan argumen layaknya pengamat politik profesional. Adu argumen atau adu gagasan tanpa harus adu fisik dari masing-masing pendukung membuat kening berkerut. Fenomena yang tentu sangat lumrah di setiap pesta perpolitikan.
Patut disimak juga bahwasannya era demokrasi kita memang sudah menuju proses kematangan atau yang dari sudut pandang sedikit ekstrim mengatakan sudah kebablasan. Indikasinya bisa terlihat dari beberapa pemikiran kritis yang muncul, baik terhadap prosesnya maupun terhadap bakal figur figur yang bakal maju bertarung untuk salempang bunga’e (To Mapparenta).
Kebablasannya dimana? Dalam pengamatan yang bukan ahli politik ini. Integritas, komitmen, loyalitas serta berbagai macam istilah yang bermuara pada etika ternyata sudah tidak relevan lagi dalam kondisi perpolitikan saat ini. Dan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Karena politik memang identik dengan segala macam cara yang dilakukan demi untuk mencapai ambisi. Kanal kanal demokrasi yang terbuka lebar menemukan jalannya sendiri-sendiri. Hampir tidak ada lagi yang namanya “sopan santun”. Dan itulah tabiat asli politik. Sebagaimana seringkali diucapkan oleh orang bijak bahwasannya politik itu adalah ibarat sebuah mata pisau yang sangat tajam. Jika digenggam oleh orang yang baik maka akan sangat berguna namun sebaliknya jika dikuasai oleh orang jahat maka justru akan mendatangkan mara bahaya.
Pertanyaan selanjutnya, asyik atau tidak mengangkat topik politik ini? Ya, tentu tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Dari sisi entertaiment tentu bagi para “petualang politik” akan sangat menarik dan bisa menghabiskan beberapa gelas kopi dan batang rokok. Tapi dari sisi edukasi hal ini justru bisa jadi sangat membosankan. Ujung-ujungnya malah membuat pening walau sudah dengan bergelas gelas kopi dan bungkus rokok.
Politik adalah seni, kalau mau menikmatinya tinggal pasang telinga baik-baik. Kalau iramanya tidak sesuai selera pendengaran tinggal “dimatikan” sebaliknya kalau sesuai selera tinggal dilanjutkan kalau perlu sambil goyangkan badan.