
Iwan menarik napas panjang. Di dalam rumah yang sunyi, hanya ada suara hujan dan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Ia memejamkan mata, mencoba berdialog dengan hatinya sendiri.
“Apa yang sebenarnya aku cari selama ini?” pikirnya.
Pekerjaan, penghasilan, status sosial—semuanya berjalan seperti roda yang terus berputar. Tapi di saat seperti ini, semua itu terasa hampa. Ia hanya ingin ketenangan. Ia hanya ingin jiwanya damai.
Namun ketenangan itu mahal. Dan damai itu bukan sesuatu yang datang dari luar.
Iwan tahu, ia harus menemukan jawabannya dari dalam. Tapi jalannya tidak mudah.
Tiba-tiba bayangan wajah anak-anaknya melintas. Mereka belum tahu apa yang sedang bergemuruh dalam hati ayahnya. Tapi justru itulah yang menguatkannya.
Mereka butuh aku tetap waras. Tetap kuat. Tetap ada.
Ia bangkit dari duduknya. Mengambil wudhu, lalu menunaikan dua rakaat shalat yang mungkin tak panjang, tapi sangat tulus. Usai salam, ia tidak langsung bangkit. Ia tetap duduk. Menunduk. Lalu berkata pelan di dalam hati:
“Ya Allah… jika harus aku hadapi, maka kuatkan aku. Tapi jika bisa Kau ringankan, maka tolonglah aku.”
Hujan masih turun di luar sana. Tapi kali ini, dinginnya tidak menusuk. Justru menenangkan.
Kontributor: GPT4.0